Sunday, August 14, 2011

Bersyukur dari 'Sudut Lain'

Ada saat dimana saya meyakini bahwa apapun yang telah saya terima selama ini adalah bentuk nikmat dari Allah. Bagaimanapun bentuknya – menyejukkan atau menyayat hati, menghadirkan tangis atau tawa – semua itu harus saya syukuri!

Keyakinan yang semakin hari saya rasakan semakin kuat tertanam dalam benak. Bahwa Allah Maha Baik, Allah Maha Tahu, Allah Maha Adil. Apapun bentuknya, Allah memberikan semua itu karena Allah yang lebih tahu mana yang terbaik untuk saya. Karena kemahabaikan dan kemahaadilan Allah-lah semua nikmat itu saya terima.

Selama ini, yang saya lakukan adalah mengucapkan ‘Alhamdulillah’ (segala puji bagi Allah) setiap kali mendapatkan nikmat yang beraroma kesenangan, dan Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun (sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepada-Nya-lah kami kembali) bila mendapatkan sesuatu yang beraroma susah.

Namun saya mengubah ungkapan syukur itu sesudah memperoleh ‘ilmu’. Meski saya harus mendapati seruan atau tatapan protes ketika saya mengucap Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun saat mendapat nikmat yang beraroma ‘sedap’.

Ilmu itu membuka wawasan saya, bahwa ‘Innalillahi wa innaa ilaihi raji’uun’ sebenarnya juga merupakan bentuk syukur jika kita ungkapkan saat kita mendapatkan kesenangan. Bahkan esensi syukur dengan mengucapkan ‘Innalillahi wa innaa ilaihi raji’uun’ itu lebih dalam. Sebab saat kita menyadari dan meyakini bahwa kesenangan itu merupakan pemberian dari Allah, kita akan lebih ikhlas andai suatu saat nanti kesenangan itu diambil kembali oleh pemiliknya.


-:||:-


Thx to:
Bpk. H. M. Rofiq
atas ‘ilmu’ di ujung tangga mengenai esensi syukur dengan ‘Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun’

Saturday, August 13, 2011

'unconsciousness'

Aku tidak pernah menyadari bahwa telah membangun sebuah surga di hatiku untukmu. Dan saat aku menyadari, surga itu telah berdiri angkuh dengan sempurna. Aku tidak pernah mengingat detail per detail kapan surga itu mulai terbangun. Mungkin karena aku terlalu bahagia karena saat itu aku merasa akhirnya aku telah menemukan bintangku.

Kini, aku dihadapkan pada kenyataan bahwa aku harus merobohkan surga itu. Bila dulu aku membangun dengan ketidaksadaranku atas dasar bahagia, kali ini aku harus melakukan itu semua dalam perih atas dasar kesadaran yang utuh. Dan ternyata itu sungguh menyiksa!

Harapanku, hanya waktu – yang jujur aku rasakan bergerak sangat lambat – yang bisa melebur semua ini nantinya. Yang jelas aku rasakan adalah, aku sudah terlalu jauh merajut angan sampai aku tiba pada titik kesadaran: aku tidak sekuat yang selama ini orang-orang kira. 

Dan aku kalah: 
oleh perasaanku sendiri.