Monday, November 28, 2011

Ribuan Endapan Tanya

Harus ku akui,
ragu itu pernah datang menghantui:
   Hadirkan resah yang mendegupkan jantung.
      Undang berjuta gelisah dan paranoia.
         Hingga kerap tirus pipi ini basah air mata.

Pernah dalam sujud aku bersimpuh.
Mohon yakin,
dan hindarkan diri
dari rasa buruk sangka pada Sang Maha.

Dan saat sekelebat kisah sahabat membayang
,... ada malu yang menyeruak:
   Cobaan ini belum sebanding.
      Bahwa harusnya justru syukur yang terucap.

Lantas,
satu per satu kenangan muncul kuatkan hati
dan kembalikan cinta.

Kala semua terlewati sudah,
dan kian jelas hati melihat segala;
Cinta ini makin terasah
oleh pengertiannya yang luar biasa.

Allah t'lah menguak rahasiaNya
: menjawab ribuan endapan tanya.


Monday, November 21, 2011

My Wedding [Behind the Scene]

PINANGAN itu aku terima dengan hati hambar.
Dengan mengucap Basmallah aku merunduk, lantas terucap selaksa doa yang lebih tertujukan untuk menenangkan batinku yang menggalau,

Ya Allah,
Jika memang ini yang menjadi kehendakMu, maka kuatkanlah aku.
Jika memang ini yang menjadi garisku, berikan tabah.
Jika memang ini yang harus aku jalani, jadikan semua sebagai ujian penguat imanku.
DariMu semua ini ada, maka padaMulah semua ini kembali.
KehadiratMu, Ya Allah,… kutitipkan raga dan jiwaku dalam pasrah.

Mendongak dan memandang bunda yang tersenyum lega karena beban terberatnya akhirnya lepas juga – membuatku semakin yakin bahwa keputusanku menerima pinangan itu adalah semata-mata atas nama ibadah.  Nafasku terhela, Ah,… semoga senyum itu selalu kuingat sebagai penawar ragu dan penguat ikhlas. Lantas tak kusadari, aku menangis tanpa suara.

PERSIAPAN pernikahanpun kulalui tanpa rasa berbunga selayaknya calon pengantin lain. Aku menjadi robot yang diprogram untuk hanya berkata ‘iYA’.
“Kamu ntar pake baju ini ya?”
“iYA”
“Gedung, catering, undangan, dekorasi, foto semua kita yang atur”
“iYA”
“Souvenir, kita juga yang beliin boleh kan?”
“iYA”

Pada seorang sahabat aku jujur berucap,
“Kalo ntar kamu ngliat aku senyum, ketawa, dan kliatan happy waktu merit,… itu bukan aku yang sebenernya”
Dia menimpali datar“Lah kalo itu bukan kamu trus siapa?”
“Topeng” jawabku asal.
“Dodol! Kamu bilang ikhlas. Mana?”  tagihnya, “Klo kamu beneran ikhlas, mestinya kamu nrima smua ini spenuh hati. Ngapain juga kamu berlagak acting gitu? Kamu berhak happy. Ini pesta kamu!”
Kemudian kepalaku serasa akan meledak.

BERSANDING di pelaminan dengan seseorang yang belum benar-benar sepenuhnya aku kenal setelah sah menjadi suamiku kemarin dalam prosesi akad yang mengharu biru – cukup terobati dengan melihat gelak akrab para sahabat yang hadir dan berkumpul di depan panggung pelaminan. Doa restu mereka seakan memberikan suntikan semangat untuk menegakkan kepala dan berjalan tegap menghadapi esok.

Aku menunduk sekilas. Melirikkan ekor mataku untuk menangkap bayangan sebuah cincin yang kini terlingkar di jemariku. Aku adalah istri seseorang sekarang!
Tiba-tiba ada gambaran yang berkabut mengganggu benak. Namun, sepersekian detik kemudian aku tersadar. Aku mengenyahkan segala hal buruk yang membayang. Berusaha menyelamatkan diri dari berbagai keraguan dan rasa takut. Janji dan senyum bunda yang meyakini semua akan baik-baik saja, memantapkanku.
Lamunanku terbantu berakhir cepat oleh seorang tamu yang datang untuk mengucapkan selamat. 

Di sela tarikan nafas aku kembali mengucap lantun doa yang sempat kusampaikan pada bunda, “Semoga tidak ada ‘apa-apa’”

HARI ini, belum genap sebulan usia pernikahanku.


!!!!!!!!!!!!
Attention
Anda HARUS baca INI juga!

:||:

“Lebih penting mencintai yang dinikahi daripada menikahi yang dicintai”
[Pengantin Al-Quran: Kalung Permata buat Anak-Anakku
by M. Quraish Shihab]

Siska pernah bilang,
“Kalo ntar aku merit, aku lebih milih merit ma cowok yang cinta aku tapi aku ga cinta dia daripada aku cinta tu cowok tapi tu cowok ga cinta aku”

Waktu itu aku jawab,
“Aku pilih azas DM aja Sis: Dicintai dan Mencintai”

peace sign 

Friday, November 18, 2011

Teori Kebutuhan

(copas dari Nurul Hayat edisi 94)

Sore yang hangat. Hari itu seperti biasa, Nasrudin keluar rumah dan ia bertemu dengan hakim kota. Lalu layaknya dua orang cendekiawan, mereka berdua berbincang-bincang tentang sesuatu yang agak filosofis. Hakim kota, seperti umumnya cendekiawan masa itu sering berpikir hanya dari satu sisi saja. Dan itulah yang ingin ditunjukkan oleh Nasrudin.

Hakim mulai perbincangan.
"Hm,... seandainya saja, setiap orang mau mematuhi hukum dan etika..."

Nasrudin menukas,
"Bukan manusia yang harus mematuhi hukum, tetapi justru hukumlah yang harus disesuaikan dengan kemanusiaan"

Hakim mencoba bertaktik,
"Tapi coba sekarang kita lihat cendekiawan seperti Anda. Kalau Anda dihadapkan pada dua pilihan, Anda akan memilih kekayaan atau kebijaksanaan?"

Nasrudin menjawab seketika,
"Tentu saya memilih kekayaan"


Hakim membalas sinis,
"Hm, memalukan sekali. Anda adalah cendekiawan yang diakui masyarakat. Dan Anda malah memilih kekayaan dibandingkan kebijaksanaan?"


Nasrudin balik bertanya,
"Kalau pilihan Anda sendiri?"


Hakim menjawab tegas,
"Tentu saya memilih kebijaksanaan"


Dan Nasrudin pun menutup pembicaraan itu tanpa terbantahkan,
"Nah, terbukti sekali lagi. Ternyata orang-orang memang selalu memilih sesuatu yang belum dimilikinya"


 =::=
:-)/\:-) high five

Sunday, August 14, 2011

Bersyukur dari 'Sudut Lain'

Ada saat dimana saya meyakini bahwa apapun yang telah saya terima selama ini adalah bentuk nikmat dari Allah. Bagaimanapun bentuknya – menyejukkan atau menyayat hati, menghadirkan tangis atau tawa – semua itu harus saya syukuri!

Keyakinan yang semakin hari saya rasakan semakin kuat tertanam dalam benak. Bahwa Allah Maha Baik, Allah Maha Tahu, Allah Maha Adil. Apapun bentuknya, Allah memberikan semua itu karena Allah yang lebih tahu mana yang terbaik untuk saya. Karena kemahabaikan dan kemahaadilan Allah-lah semua nikmat itu saya terima.

Selama ini, yang saya lakukan adalah mengucapkan ‘Alhamdulillah’ (segala puji bagi Allah) setiap kali mendapatkan nikmat yang beraroma kesenangan, dan Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun (sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepada-Nya-lah kami kembali) bila mendapatkan sesuatu yang beraroma susah.

Namun saya mengubah ungkapan syukur itu sesudah memperoleh ‘ilmu’. Meski saya harus mendapati seruan atau tatapan protes ketika saya mengucap Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun saat mendapat nikmat yang beraroma ‘sedap’.

Ilmu itu membuka wawasan saya, bahwa ‘Innalillahi wa innaa ilaihi raji’uun’ sebenarnya juga merupakan bentuk syukur jika kita ungkapkan saat kita mendapatkan kesenangan. Bahkan esensi syukur dengan mengucapkan ‘Innalillahi wa innaa ilaihi raji’uun’ itu lebih dalam. Sebab saat kita menyadari dan meyakini bahwa kesenangan itu merupakan pemberian dari Allah, kita akan lebih ikhlas andai suatu saat nanti kesenangan itu diambil kembali oleh pemiliknya.


-:||:-


Thx to:
Bpk. H. M. Rofiq
atas ‘ilmu’ di ujung tangga mengenai esensi syukur dengan ‘Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun’

Saturday, August 13, 2011

'unconsciousness'

Aku tidak pernah menyadari bahwa telah membangun sebuah surga di hatiku untukmu. Dan saat aku menyadari, surga itu telah berdiri angkuh dengan sempurna. Aku tidak pernah mengingat detail per detail kapan surga itu mulai terbangun. Mungkin karena aku terlalu bahagia karena saat itu aku merasa akhirnya aku telah menemukan bintangku.

Kini, aku dihadapkan pada kenyataan bahwa aku harus merobohkan surga itu. Bila dulu aku membangun dengan ketidaksadaranku atas dasar bahagia, kali ini aku harus melakukan itu semua dalam perih atas dasar kesadaran yang utuh. Dan ternyata itu sungguh menyiksa!

Harapanku, hanya waktu – yang jujur aku rasakan bergerak sangat lambat – yang bisa melebur semua ini nantinya. Yang jelas aku rasakan adalah, aku sudah terlalu jauh merajut angan sampai aku tiba pada titik kesadaran: aku tidak sekuat yang selama ini orang-orang kira. 

Dan aku kalah: 
oleh perasaanku sendiri.

Thursday, March 10, 2011

Reduce your Weakness!


Setiap kita pasti mempunyai kelebihan dan kekurangan, kekuatan dan kelemahan, sisi positif dan sisi negatif.
Namun banyak diantara kita yang kurang peka untuk mau menyadari kekurangan, kelemahan atau sisi negatif tersebut, sehingga sering kali kita terjebak oleh kebiasaan-kebiasaan buruk yang merugikan kita menjadi pribadi yang lebih dewasa. Bahkan sebagian dari kita ada yang memilih untuk tidak bijak dengan tetap mengacuhkan kekurangan, kelemahan dan sisi negatifnya.

Jadi sangatlah beruntung, jika kita dapat menemukan kelemahan kita dan menyadarinya sebagai bentuk kelemahan kita, kemudian memutuskan untuk menguranginya.

Sesi konsultasi itu membuatku mempunyai petunjuk untuk meminimalkan segala bentuk kelemahan yang aku punya. Ketika si therapist menyarankan untuk menstimulasi otak dengan mengatakan: 'Aku-Ingin-Bisa-Lebih ...' daripada 'Aku-Tidak-Ingin-Lagi ...' sebagai stimulus [selain memberikan sebuah bentuk terapi untuk menjadikan aku lebih baik tentunya], aku bisa merasa bahwa konsultasi kali itu benar-benar akan mengubah aku.

Lima hari menjalani sesi terapi setiap pagi, dengan terus mengingat point-point yang teranalisa dari bentuk tulisanku setelah mengikuti tes grafologi, aku menemukan sebuah cermin besar yang memantulkan metamorfosaku.
Terhitung dua puluh lima hari dari sekarang, aku yakin akan menemukan sosok baru yang lebih baik dari seorang Iera.


-:|:-

Jangan pernah muluk berkeinginan untuk 'menghilangkan' kelemahan yang kita punya; 'kurangi' saja dan biarkan sedikit kelemahan itu tetap ada. Sebab kelemahan itu merupakan bukti bahwa kita masih 'manusia'

Saturday, February 19, 2011

Empati

Dalam kamus besar bahasa Indonesia, definisi empati menurut ilmu psikologi adalah keadaan mental yang membuat seseorang merasa atau mengidentifikasi dirinya dalam keadaan perasaan atau pikiran yang sama dengan orang atau kelompok lain.
Ber-empati memiliki arti melakukan (mempunyai) empati: apabila seseorang mampu memahami perasaan dan pikiran orang lain, berarti ia sudah mampu berempati.

Sedangkan menurutku pribadi [selain apa yang tersampaikan di atas], berempati adalah merupakan salah satu cara kita untuk lebih ‘manusia’: sebab berempati berarti pula kita berpikir menggunakan hati. 

Namun sayangnya tidak banyak diantara kita yang mau menunjukkan ‘kemanusiaan’nya dengan berempati, padahal konflik - seringkali terjadi karena minimnya empati dalam sebuah interaksi. Merasa paling benar, ingin dimenangkan, dan dimengerti tanpa kesadaran bahwa - begitu pula sebaliknya - lawan bicara kita juga merasakan hal serupa. 

Belum terlambat untuk belajar menjadi lebih 'manusia'. Berinteraksilah dengan siapapun yang ada di sekitar Anda seolah Anda berinteraksi dengan orang yang Anda hadapi ketika bercermin!

winking




Friday, February 11, 2011

Sang Dewi

Sekian kali gagal dalam menjalin hubungan dengan beberapa lelaki menumpukkan kecewa yang berpuncak pada keputusan untuk tidak lagi mau jatuh cinta. Hingga keputusan terekstrim pun - yaitu tidak akan menikah akhirnya menggelayut pula dan menancap dalam hati.

Bisa terbayang bagaimana reaksi ayahbunda dan adik-adikku saat keinginanku untuk hidup sendiri aku sampaikan. Ayahanda menentang dan meradang. Bunda menjerit berbaur tangis memilukan. Para adinda menatap tajam penuh kebencian.

          Namun aku bergeming.
Ketiga reaksi berbeda itu tak sedikitpun menggoyahkan keputusan akhirku. Aku tetap pada keputusan: ti-dak-a-kan-me-ni-kah!

Pekerjaan yang menuntut banyak waktu; yang membuat aku merasa beruntung masih melajang karena aku bisa lebih fokus pada karier tanpa harus terganggu oleh keberadaan suami dan anak serta banyaknya teman yang mayoritas merasa enjoy dengan kelajangan mereka, membuat aku kian terbuai oleh keputusan itu.
          Sekian tahun aku lewati dengan hati dingin; mengabaikan sikap geram ayahanda, kepedihan bunda dan ketidaksimpatian adik-adikku. Aku sungguh tak peduli dan benar-benar mematikan hati. 

          Hingga aku bertemu dia. 
Tiba-tiba aku merasa duniaku berhenti berputar. Semua adegan berjalan dengan gerakan lambat. Aku ditakjubkan oleh sebuah getaran halus yang mampu memberangus keputusanku untuk tidak menikah.
          Kembalilah aku pada kemegahan sebuah cinta. Merasakan lagi arti memliki dan dimiliki. 

[Inilah saat soundtrack lagu Sang Dewi yang dinyanyikan oleh Titi DJ diputar]

Walaupun jiwaku pernah terluka
Hingga nyaris bunuh diri
Wanita mana yang sanggup hidup sendiri
Di dunia ini

Walaupun tlah kututup mata hati
Begitupun telingaku
Namun bila dikala cinta memanggilmu
Dengarlah ini

Walaupun dirimu tak bersayap
Kuakan percaya
Kau mampu terbang bawa diriku
Tanpa takut dan ragu

Walaupun mulutku pernah bersumpah
Tak sudi lagi jatuh cinta
Wanita seperti diriku pun ternyata
Mudah menyerah

Walaupun kau bukan titisan dewa
Ku takkan kecewa
Karna kau jadikan ku sang dewi
Dalam taman surgawi

 
...

Oya, namaku: DEWI.





::||::

Happy Wedding ya Wi 
partyhappy big hug kiss

Wednesday, January 19, 2011

Welcome to Our Club!

Saat itu blom genap staon sejak kepergian ayahanda. Kedekatanku dengan ayahanda acapkali menggiring hati untuk ga percaya bahwa ayahanda udah pergi untuk selamanya. Dalam kurun waktu yang relatif lama, aku masih aja ngrasa bahwa ayahanda cuma pergi ke luar kota [sperti yang sudah-sudah], dan bakal balik pulang ke rumah.
Sperti biasa, masih saja aku ngrasa pengen cepet pulang dan ketemu ayahbunda untuk nyritain segala rutinitas yang aku alami sehari itu kepada beliau berdua - hingga kemudian aku harus kecewa, karena sedetik berikutnya aku disadarkan oleh kenyataan bahwa ayahanda telah tiada.

Dan rasa kehilangan yang selalu berujung rindu masih terus membayangi. Pun yang terjadi siang itu.

[By the way, sblomnya perkenankan aku memperkenalkan dua sahabat terbaik yang aku punya: mbak Ratih dan Destina]

Di kantor. Siang itu sepi. Bapak-bapak konsultan yang brada satu ruangan dengan kami ga kliatan. Aku manyun tergeluti rasa rindu pada ayahanda. Mbak Ratih [yang meja kerjanya persis ada di sampingku] sibuk dengan laporan keuangannya. Desti yang duduk ga jauh dari meja kami, terlihat datang mendekat.

"Aku kangen ayahanda, Des..." jujurku lirih waktu Desti udah ada di sampingku. Desti diam ga langsung nanggepin.
"Aku masih pengen bisa ngrawat ayahanda..." lanjutku rada tersendat.

"Mbak,..." Desti motong,
"Dikau masih enak punya kesempatan ngrawat ayahanda. Nah aku?... boro-boro ngrawat,... ayahanda meninggal aja aku ga nungguin. Boro-boro nungguin, aku malah baru bisa pulang stelah ayahanda dimakamin. Dikau masih inget kan? Aku lagi sakit di Surabaya waktu ayahanda kritis di Kediri. Kok ya kebetulan banget pager-ku abis baterei, jadi kabar ayahanda ga ada, telat aku terima,"
"Aku skalipun ga pernah ngrawat ayahanda. Bukan lantaran aku ga mau, tapi lebih karena aku ga tega. Itu yang bikin aku nyesel banget. Andai aja aku bisa muter waktu,... Sumpah mbak, aku pengen bisa ngrasain ngrawat ayahanda skaliiii aja,..."

Mata kami berdua berkaca-kaca.

Tiba-tiba mbak Ratih yang sedari tadi diem bersuara,

"Kalian berdua masih mending!" luapan emosinya begitu kentara,
"Kamu Des, meski mungkin ga sempet ngrawat ayahanda, at least kamu 'kenal' ayahanda. Nah aku? Ayahanda meninggal waktu aku umur 1,5 taon. Aku ga pernah inget gimana rasanya punya ayah!!!"

crying
Kalimat mbak Ratih kami tutup dengan acara nangis berjamaah.
Siang yang gerah menjadi trasa smakin gerah. Tapi kebersamaan kami yang merasa senasib karena tak lagi berayah menghembuskan sejuk di hati kami masing-masing. Dalam tangis mengenang ayahanda kami saling melempar senyum.

Dalam bayangan konyolku siang itu, mbak Ratih dan Desti yang lebih dulu ngrasain kehilangan ayahanda ngrentangin tangan lebar nyambut 'kedatangan'ku: welcome to our club!!!
big hug



:|:|:
19 Januari 2011
Genap 10 tahun kepergian ayahanda