Sunday, December 26, 2010

Memaafkan

Ketika aku menginjakkan kaki di tempat itu dan mendapatkan tatapan sinis yang 'menelanjangi' dari ujung rambut hingga ujung kaki, aku menyadari bahwa bagi orang-orang itu aku adalah 'sampah'.

Namun sebagai 'sampah' yang dari awal memang tidak merasa 'kesampahan'nya, aku mendatangi mereka dengan tetap menegakkan kepala, memberikan senyumku sebagai bentuk sedekah, dan sapaan tulus meski berbalas buangan muka.

Beberapa waktu setelah kejadian itu berlalu aku mempertanyakan dari mana asal keberanianku menghadapi mereka. Dan jawaban pasti dari hatiku adalah keberanian itu berasal dari kebenaran yang ada.

Jadi bukan lantaran aku sombong, - bukan pula karena aku tak punya rasa malu maka aku berani menghadapi dan mematahkan tatapan sinis mereka kala itu. Namun keyakinan bahwa aku benar lah yang mampu menepis rasa mundur.

Mungkin aku kalah dalam kesendirian di mata mereka. Tapi ijinkan aku berbangga sekarang; karena dalam senyum aku justru merasa aku lah sang pemenang.


Semulia-mulia manusia ialah ia yang mempunyai adab yang baik, merendahkan diri ketika ia berkedudukan tinggi, memaafkan ketika ia mampu membalas, dan bersikap adil ketika ia memliki kekuatan.
(Khalifah Abdul Malik bin Marwan)

Thursday, December 16, 2010

Di Ujung Lelapku

Penat setelah kegiatan sehari penuh mengantarku pada lelah yang terasa sungguh. Tapi aku ga pengen melewatkan waktu untuk berbincang bareng ayahbunda seperti yang sudah-sudah.

Jadi, aku sdikit memaksakan diri untuk tetap terjaga waktu ayahbunda bercengkerama di ruang keluarga.

TV menyala. Ayahbunda berbincang di sofa. Di hamparan karpet aku merebah.

Skian waktu aku lewati menonton acara di televisi yang berkali-kali aku ubah channelnya. Sesekali ikut masuk dalam perbincangan ayah dan bunda, hingga tiba saat kantukku mulai melanda.

Tubuhku melemah. Berat mata tak terkuasai.

Ketika mata rapat mengatup dan nafas mulai teratur berhembus; di ujung lelapku, aku menangkap perbincangan ayah dan bunda.

Di perbincangan itu, bunda berniat membangunkan aku untuk menyuruhku pindah dan melanjutkan tidur di kamar; sementara, - melihat 'lelap'ku - ayahanda melarang dengan alasan kasihan.

Aku yang waktu itu memang belum benar-benar terlelap membalik badan, menggeliat pelan mencoba 'melelapkan diri' dalam kepura-puraan. 
     Sebuah haru merayap; memaksa buliran air mata menggenang.

Detik waktu berselang.
Aku merasakan suara televisi yang melemah, ada sehelai selimut membungkus tubuhku dan suara kipas angin lembut menderu.
        : ayahbunda membiarkan aku tetap lelap dan menciptakan 'kenyamanan' untuk mengabadikan lelapku.

Saat itu, aku mencatat lagi bentuk kasih sayang ayahbunda - meski sederhana: dalam masing-masing pandangan dan cara beliau berdua.
Tangki cintaku terisi!

Adalah Harapan dan Doa,

Yang tak lepas dari pintaku. Selalu.


Itulah sebab, manakala hati bercengkerama dengan Sang Maha Penakluk, dalam tunduk khusyuk di setiap pejaman mata di tiap gelap yang membungkus,... hanya dia yang terpinta.
         Memohon dengan kerendahan hati yang tak jarang berimbuh paksa bahwa apa yang terasa dalam hati dan teryakini tentang dia adalah untukku dan memang yang terbaik.

Tenahak yang lantas tumbuh adalah ketika aku harus mau menerima bahwa apa yang menurutku terbaik belum tentu benar-benar yang terbaik. 

Namun aku tetap inginkan sebuah bahagia untuknya. Pasti.
     Meski mungkin bahagia itu mewujud bukan karena keberadaanku di sampingnya. Tapi bahwa aku ingin dia bisa selalu tertawa untuk pancarkan bahagianya, tak pernah luput hati ini memohon pada Sang Pemilik Nyawa.

Aku tahu pasti, Tuhanku mendengar semua pinta. Sepasti tahuku, bahwa ada saat pintaku akan mewujud nyata.
Maka dalam setiap hembus nafas yang tersisa, tak pernah luput hati ini memohonkan dia.

: Hingga tiba saat Sang Maha Segala menunjukkan Kariim dan MujiibNya!



[dia tetap selalu
tak lepas dari pintaku,
karena dia
adalah harapan dan doa
yang [akhirnya Tuhan berikan juga]
mewujud nyata dalam langkahku
...
dia,
bagiku,...
segalanya!]

Wednesday, December 15, 2010

Perang Batin


Hal yang sangat sulit kita lakukan adalah ketika kita harus menipu diri sendiri.
Melakukan sswatu yang bertentangan dengan hati. Berpura-pura senang pada sswatu yang sebenarnya ga kita suka; atau sbaliknya, - berpura-pura tidak senang pada sswatu yang sebenarnya sangat kita suka.

Bberapa waktu lalu, ketika aku mulai melakukan itu: melalukan sswatu yang aku tidak suka dan berpura-pura senang melakukannya; Melakukan seperti lirik lagu Slank: '... Kutertawa walau hati kecewa, ya kucoba untuk tetap tertawa. Kubernyanyi walau hati menangis, ya kucoba untuk tetap bernyanyi...' - yang aku rasakan adalah sakit!

Ketika bibirku menyunggingkan senyum smentara kedua pipiku terbanjiri air mata, hatiku benar-benar tersayat. Kala itu, aku ga peduli dengan sebutan munafik atau apalah-sok atuh-whatever-terserah, karena yang ada di benakku hanya bimbang. Aku seolah layang-layang putus tak bertuan, terbang terbawa angin, meliuk tanpa arah. Ada ragu, takut, resah, marah,... semua tercampur sempurna. 

Setiap mata ini terpejam, hujatan hati menggelegar. Setiap langkah terayun, cacian hati mengalun...

        Lalu, mulailah perang batin itu!
Dengan tangis dan doa yang beradu. Dengan asam lambung yang meningkat. Dengan tidur yang tak lelap dan makan yang tak nikmat; Aku mencoba untuk tetap berdiri tegak!
: Brusaha menerima semuanya meski perih merajam; Berharap smoga perang ini secepatnya usai.


::||::
 Sebagian kita emang kadang ngrasa ragu untuk mengatakan sbuah kejujuran
[inget 'motto' kita dulu ga bro: ... JUJUR AJUR!!!]

Adalah Nafas,

Yang membuatku bisa hidup.


Itulah mengapa aku ingin dia selalu ada.
Setiap saat. Kapanpun. Dimanapun.

Sebab meski hanya sekedip mata tanpanya, ada sembilu yang menghantam dada. Meninggalkan sesak yang mempersulit aku mendapatkan udara.
Maka tak ada hasrat yang melebihi dari ingin menghirup segar udaranya demi kelangsungan hidupku.

Aku lantak oleh kesadaran bahwa tak bisa aku melangkahkan kaki menapak hari tanpa dia. Tak sanggup diri melewati detik-detik berlalunya waktu bila dia tak di sampingku.

Sungguh!

Aku butuh dia selalu ada.
Setiap saat. Kapanpun. Dimanapun.

Maka dia harus selalu ada.
Setiap saat. Kapanpun. Dimanapun.



 [karena dia 
adalah nafas,
yang mengiringi jiwa raga
dan senantiasa terbutuhkan]

Tuesday, December 14, 2010

Adalah Cinta,

Yang mengharubirukan hati.


Sebab saat aku berusaha untuk menggebah rasa dan mencoba bangun dari mimpi, aku terperangkap dalam perang batin.
Lantas aku dihadapkan pada kenyataan bahwa aku terlanjur lelap.

Manakala aku pada akhirnya bisa semakin sedikit mendekat
        : merasakan gairah yang tak kunjung padam dalam setiap detik yang terlewati, bahagia tak berkesudahan demi menikmati segala keindahannya dalam sejengkal jarak, teracuni gelisah terlanda rindu meski telah membawa pulang sisa-sisa harumnya yang melekat,...
        
        dan juga perih - saat aku tahu bahwa bukan hanya aku yang bisa membuatnya bahagia.

Aku menjadi lebih terpuruk!

Dengan puing-puing ketegaran aku mencoba tetap tegak; mencoba untuk menjadi sahabat yang sempurna untuknya, - paling tidak memberikan yang terbaik yang aku punya.


[ternyata,
aku baru menyadari,
bahwa dia benar-benar
adalah cinta,
yang membuat aku merasa hidup
dengan segenap kesyahduannya
(: tawa, tangis, benci, bahagia
rindu, kecewa, dan cemburu)]

Dia adalah Mimpi,

Yang tak pernah sedikitpun terpikir akan teraih.


Meski ingin sekali aku mengatakan pada dunia betapa aku mencintainya. Sepenuh jiwa - hingga aku tak akan ragu mengucap sumpah: bahwa apapun akan aku lakukan asal dia bahagia.
Tak 'kan tersangkal, betapa aku selalu menyambut pagi dengan harapan bertemu dengannya di sepersekiandetik waktuku. Namun meski sepersekiandetik yang tersuguh; bagiku itu sudah lebih dari cukup; karena bahkan walau hanya sekedip mata kelebat bayangannya tertangkap retina, aku mampu menghirup harum tubuhnya laksana mencium harum surga,...

Tapi bodohku yang tak miliki keberanian untuk mengatakan bahwa aku cinta!
[Bahkan sekalipun untuk sekedar menunjukkan bahwa aku ada!!!]

Aku hanya diam di sini

        : menikmati keindahan surgawinya dari jauh; merasakan sejuk yang merayap pelan di sanubari kala melihatnya tersenyum. Mencoba memuaskan hati dengan cara itu meski sungguh hasrat ingin menggenggam erat senyumnya untuk kemudian memilikinya sepanjang waktu.

Lantas, semakin terpuruklah aku oleh ketidakberdayaan yang terus menghantu,
... sementara waktu kian berlalu dengan angkuh.


[sungguh,...
dia adalah mimpi
yang ada dalam ruang hati yang teryakini
jauh tak kan terjangkau]

Bagiku,...

Dia adalah mimpi,
yang ada dalam ruang hati yang teryakini
jauh tak kan terjangkau

yang membuatku merasa hidup
dengan segenap kesyahduannya
(: tawa, tangis, benci, bahagia,
rindu, kecewa, dan cemburu)

yang mengiringi jiwa raga
dan senantiasa terbutuhkan

yang [akhirnya Tuhan berikan juga]
mewujud nyata dalam langkahku

...

Dia,
bagiku,...
segalanya!



:||:
Dedicated to:
PARA PECINTA
semua hati yang [pernah, sedang, dan/atau akan] merasakan keindahan dicintai dan mencintai

Monday, December 6, 2010

Tempat [yang seharusnya] Suci



Dari sekian banyak Tempat Suci [baca masjid atau mushola] yang aku kunjungi, ada 2 tempat yang sangat membekas di hati.
Tempat #1 adalah tempat suci yang sering aku kunjungi 19 tahun yang lalu [dan aku kunjungi lagi kira-kira setahun yang lalu]; sedangkan tempat yang #2 adalah tempat suci yang baru sekali aku kunjungi kira-kira 2 tahun yang lalu [dan [mungkin] tidak akan pernah aku kunjungi lagi]

Tempat suci #1
adalah sebuah tempat dengan nuansa hijau nan damai. Ternaungi pohon rindang dengan banyak ventilasi udara sehingga kegiatan menghadap Sang-Segala terasa sejuk. Di sudut ruang ada lemari mungil tempat mukena dan Al Quran yang tertata rapi. Tempat itu sangat terjaga dan terawat sehingga ’kesuciannya’ bisa terasa.

Namun saat aku mempunyai kesempatan lagi untuk kembali melakukan ibadah di sana setahun yang lalu [: saat itu yang terbayang adalah perasaan ’pulang’ untuk kemudian bisa menemukan ’kesucian’ yang dulu terasa], ada kecewa yang membuncah. Kalau soal mukena-mukena yang tak-bisa-disebut-putih berserakan di sudut ruangan, aku masih sedikit bisa memaklumi. Tapi soal potongan tulang ayam goreng - yang pada awalnya hampir tak terdeteksi lantaran hampir tertutup oleh kerubungan ribuan semut - teronggok ’anggun’ di lantai,... Duh Gusti, tak terkatakan betapa mirisnya hati.

Tempat suci #2 
adalah sebuah tempat di salah satu instansi pemerintah. Ketika aku berniat 'menemui' penciptaku di tempat sucinya, aku menemukan sebuah mushola yang 'bersih' dan di samping ruangnya ada tempat untuk berwudhu yang 'kering'. Menurut seorang ibu separuh baya yang aku temui di mushola, kran air di tempat wudhu itu tidak berfungsi. Si ibu yang juga berniat menunaikan kewajiban muslimnya di mushola itu tidak mempunyai jawaban ketika aku menanyakan dimana aku bisa berwudhu.

Karenanya, aku lantas berjalan menuju ruang kantor terdekat. 

Seorang ibu dengan seragam coklat yang aku temui di ruang itu terlongo saat aku tanyai dimana aku bisa berwudhu. Dengan separuh berbisik, dia menyambungkan pertanyaanku pada seorang bapak rekan kerjanya. Sang bapak dari balik layar monitor komputer mengatakan bahwa di sebelah utara kantor ada kamar mandi yang bisa aku pakai untuk mengambil air wudhu. Aku bergegas menuju arah yang ditunjuk setelah mengucap terima kasih. 

Setiba di kamar mandi yang dimaksud, aku mundur. Perasaan jijik dan ngeri membaur. Kamar mandi itu sangat kotor. Dinding kamar mandinya sangat kusam, bak mandi tempat menampung air terlihat hitam legam. Selintas ada sebuah pemikiran, jangan-jangan ada binatang yang bermukim di bak mandi itu [hehehe, lebay!].

Dan saat mataku menangkap keberadaan sebuah kran air yang tak jauh dari kamar mandi, ada sebuah lega. Dengan mengucap basmallah aku melangkah ke arah kran air itu dan berharap kali ini berhasil menemukan air bersih untuk bersuci. Alhamdulillah, ada air yang keluar dari sana saat aku memutar kran-nya. Maka aku bersiap mensucikan diri. Mulailah aku membasuh kedua tangan, Bismillaahir Rahmaanir Rahim. Ya Allah, hindarkan tanganku dari kedurhakaan terhadapMu...

Namun kegiatan wudhu itu terhenti ketika aku mulai berkumur. Rasa air yang keluar dari kran itu sangat anyir. Di tambah lagi, air yang mengucur semakin kecil untuk kemudian tak mengucur sama sekali. Lagi-lagi aku gagal menemukan air bersih.

Sedikit putus asa, aku berniat meninggalkan instansi tersebut dan melewati warung yang dijaga oleh seorang ibu berperawakan sintal. Apa salahnya aku mencoba sekali lagi? Maka aku memasuki warung itu dan bertanya,
"Ibu, mohon maaf numpang tanya, saya mau sholat tapi ga bisa nemuin tempat wudhu. Tempat wudhunya dimana ya, Bu?"
Tanpa menoleh ibu itu menjawab: "Nanya tempat wudhu kok di warung. Kalo nanya nasi ada!"


Aku terkesiap.
Tanpa kata aku meninggalkan warung itu. 
Dalam pasrah aku menyebut Sang Penguasa: Ya Allah, susahnya menghadapMu kali ini.



>()<
Ya Allah, bukakanlah untukku pintu-pintu rahmat-Mu 
dan bukakanlah untukku pintu-pintu karunia-Mu





Wednesday, December 1, 2010

Dua Cinta


Pintu terbuka yang aku lalui hingga kemudian aku 'terjebak' dalam irama dosa adalah ketika aku tahu bahwa ternyata rasa ini bersambut. Lalu irama dosa itu menjadi semakin terlantun merdu oleh pembenaran-pembenaran yang [jujur saja] sengaja aku rajut.

Tapi jangan tudingkan salah padaku!
: sebab aku tak punyai daya untuk mencegah semua rasa.

Kiranya aku terlanjur tenggelam dan kian terpuruk oleh ketidakberdayaan - yang entah sengaja [juga] atau tidak telah tercipta. 

Karena setiap kali aku mencoba untuk tak hirau, berulang kali pula tak bisa kupungkiri bahwa aku sungguh cinta. Semakin aku merasa bahwa aku tak boleh berada dalam dua cinta, semakin aku merasa ingin tetap berada di dalamnya.

Namun aku ingin berdalih, 

: jika dan andai aku mendapat kesempatan untuk kembali, pintu itu tak akan pernah aku lalui. 
     Tak akan !!!
 

Aku tidak pernah bisa mengingat kapan rasa ini tumbuh. 
Yang aku tahu, rasa ini terus tumbuh seiring sering hadirnya bayanganmu.

Aku juga tidak bisa mengingat kapan rasa ini semakin meraja.
Yang aku tahu, rasa ini kian meraja seiring sadarku tentang cinta.



  •  
:: ,... aku tak bermaksud membuatmu sungguh tak berarti ::
[jangan terusin cerita itu Za, cos aku tau 'mengakui' itu udah sangat nyiksa]